Sabtu, 22 September 2012

Sample Novel : " DUNIA LAIN "




SATU



SELAMA pesawat descending, Mataku menyapu bersih semua yang tampak di luar jendelamengamati kota Bandung dari kejauhan, walaupun awan tebal kembali menyelimuti langit.

Sudah dua bulan lamanya aku meninggalkan kota ini. Dalam pikiranku hanya ada flashback tentang kehidupanku dulu sebelum aku pergi ke ‘negeri gingseng’.

 Di sana aku bukan hanya berlibur ataupun bersenang-senang, tapi di sana aku menjadi salah satu duta Indonesia. Ya, aku ikut serta dalam program pertukaran pelajar yang ada di sekolahku. Aku berangkat bersama 20 temanku kesana dan bersekolah di Woosong High School.

Aku masih ingat. Pertama kali sampai di Incheon Airport – Seoul, aku ternganga, karena kagum. Akupun masih tidak percaya, jika aku sudah berada di negeri orang. Terserah deh, orang mau bilang kampungan, lebay, whatever, lah!

 Ketika ngantri di bea cukai, para siswa pertukaran pelajar yang baru juga sampai saling berkelompok dan berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Dan akupun, sama sekali tidak mengerti, kecuali Bahasa Inggris.

 Duh, jadi kangen Korsel. Semoga aku diberi kesempatan lagi untuk mengunjungi Korsel.

Sejak penerbangan Korea - Indonesia yang kulalui 7 jam yang lalu, badanku serasa remuk. Kulihat wajah-wajah temanku, kelihatan lelah sekali. Bahkan mata mereka ada yang sembab, habis menangis.
Aku baru ingat, tadi malam, kan, kami abis melakukan ritual perpisahan, mungkin saja mereka nangis bombay, gitu. Saat perpisahan dengan teman-teman dan orang tua angkat kami di sana. Tidak bisa di pungkiri bahwa kami sangat sedih meninggalkan mereka.

***

Indonesia, benar-benar panas. Waktu aku ke Korea pada bulan januari lalu, adalah musim summer. Rata-rata orang di sana berpergian dengan baju yang terbuka agar tidak kepanasan.
Sementara aku, karena masih merasa kedinginan, aku lengkap memakai baju untuk musim dingin yang tebal, dibalut lagi dengan sweater.

Aku mengedarkan pandanganku sejauh mungkin. Berharap aku menemukan seseorang yang menjemputku. Ya, tentu saja si Mama. Ayahku sudah meninggal, dan Kak Ilham berada di Bandung, sedangkan Marcel, mana mau dia jemput aku.

 Aku sudah berpisah dengan teman-temanku sejak tadi. Sampai sekarang Mama belum juga muncul, padahal tadi malam sudah aku beri tahu bahwa hari ini aku akan pulang.

Kurogoh saku celanaku dan kuambil HP-ku untuk menghubungi Mama. Setelah mendapat nomor yang kucari, aku langsung menekan tombol hijau pada layar. Tak lama, dibalik HP-ku ini sudah ada yang mengangkat.

“Ma, Aku sudah sampai,” sapaku pertama kali.

“Iya, Kak Ilham sudah jemput kamu, kok. Tadi dia berangkat sama Kak Marcel” jawab Mama dari seberang sana.

“Mana Kak Ilhamnya?” tanyaku.
 
“Dia udah berangkat dari satu jam yang lalu, kamu cari-cari aja!”
 
“Emang Kak Ilham ada di Bandung, ya, Ma?” tanyaku lagi. Ini pertanyaan bodoh, sudah tentulah kalo Kak Ilham menjemputku berarti dia sedang berada di Bandung.

“Sudah ah! Kamu cari-cari aja disitu. Kamu, kan, udah besar jadi nggak mungkin hilang. Mama sedang arisan, nih!” ucapnya ketus.

Tut...tut...tut.

“Ma... Mama!” aku masih memanggil Mama di HP.

Kutatap layar HP. “HUH! Dimatiin!” aku mendengus kesal.

“Dek!” seseorang menepuk pundakku.

“Kak Ilham! lama amat!” jawabku ketus. Kak Ilham, pemuda yang usianya terpaut tiga tahun denganku, berperawakan tinggi tegap dengan kulit lebih gelap dariku.

“Sorry, dari tadi juga Kak Ilham nyariin kamu,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

“Ya, sudah, ini bantuin aku bawa barang-barang,” kataku.

“Iya!” balasnya sambil mengambil koper yang ada di tanganku.

“Kak, mana Marcel, katanya dia ikut?” tanyaku.

“Hmmm, dia ada di mobil.”

“Ya, ampun! Bener-bener, dah tuh, anak!” gerutuku.

Kami berjalan menuju mobil lalu memasukkan barang-barangku ke begasi. Kemudian kami masuk ke mobil. Aku duduk di sebelah Kak Ilham, sedangkan Marcel duduk di jok belakang.

Kak Ilham adalah kakak kandungku. Aku hanya mempunyai satu saudara kandung. Kak Ilham sekarang sedang kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta.

Oh, Iya, Marcel bukan kakak kandungku, dia adalah sepupuku. Dia tinggal dirumahku karena rumah orang tuanya Marcel bukan di Bandung, melainkan di Kota kecil yang ada di Jawa Barat, sedangkan Marcel bersekolah di sekolah yang sama denganku, di Bandung.

Daripada dia ngekost, kan mendingan tinggal bareng sama kami. Tapi setiap ada waktu libur, dia pasti menyempatkan diri untuk pulang ke rumahnya. Eh, satu lagi, Marcel itu bukan nama aslinya, kalo nama aslinya itu Marco Celamet. Tapi orang tuanya menyingkatnya jadi, Marcel. Aneh!

Dia tinggal bersama kami sudah dari 1 tahun yang lalu, sejak dia masuk SMA yang sama denganku. Ya, kami seumuran, hanya terpaut dua bulan saja. Dia lahir di bulan Januari, sedangkan aku lahir di bulan Maret. Jadi, tentu saja dia yang lebih tua.

Aku senang Marcel tinggal di rumahku. Walaupun tiap di rumah biasanya kami ribut melulu. Karena kalo nggak ada dia, aku serasa tinggal di planet Mars. Sepi banget! Soalnya yang tinggal dirumah hanya ada aku, Mama, dan Marcel saja. Karena Papah sudah meninggal sejak tiga bulan yang lalu. Sedangkan Kak Ilham tinggal di Jakarta.

“Gimana, Dam, perjalanan pulang kamu?” tanya Marcel sok berbasa-basi.

“Hmmm, ya gitu, biasa aja,” jawabku datar.

Marcel tersenyum kecut.

“Kok, Kak Ilham ada di Bandung?” tanyaku ragu.

“Iya, lagi libur kuliahnya. Lusa baru Kakak pulang,” jawabnya.

“Oooh,” ujarku sambil manggut-manggut.

“Apa kabar, Sel!” sapaku sok akrab sambil kutolehkan kepalaku ke belakang.

Matanya langsung melotot geram ke arahku. Dia akan marah kalo aku memanggil namanya saja, tanpa menyebut embel-embel ‘Kak’ atau ‘Koko’ sebelum namanya. Hampir saja aku tak bisa menahan tawaku, lalu buru-buru meralat ucapanku.

“Apa kabar, Ko Marcel?” tanyaku. Hampir saja aku terkekeh.

“Baik!” jawabnya datar.

“Kak, kita mau kemana, rumah kita sudah lewat,” kataku. Aku baru saja menyadari bahwa mobil ini sudah melaju melewati rumahku.

“Kamu lupa, ya, Dam! Kan, Mama sudah ngabarin ke kamu, kalo kita sekarang tinggal di rumah kita yang satunya. Rumah kita yang lama, sudah di jual,” timpal Marcel.

Pikiranku menerawang. “Oh iya-ya,” kataku sambil menggaruk-garuk kepalaku.

“Kamu tahu, kan, rumah kita yang baru? Ayah waktu itu, kan, sudah membelinya. Tapi rumah itu, di biarin kosong.”

“Iya, cepat selesaikan kuliahmu, Kak. Sepi banget, kalo kami cuma tinggal bertiga,” kataku.

“Gimana Dek, pengalaman tinggal di negeri orang? Asik nggak?” tanya Kak Ilham mengalihkan pembicaraan

“Asik. Nanti aja aku ceritaiin. It’s long story,” jawabku datar.

Kami terdiam beberapa saat.

“Kak, kita nggak mampir ke resto dulu?” ujarku ketika melihat sebuah resto dari dalam mobil.

“Nggak usah, makan di rumah aja. Si Mama tadi masak banyak makanan. Katanya untuk nyambut kamu pulang, sekalian arisan,” jawab Kak Ilham. “Kamu udah makan, Sel?”

“Udah, Kak!” jawab Marcel.

Ya, ampun, hanya dia yang ditanya. Aku yang baru pulang, perut keroncongan, nggak ditanya. Sungguh menyedihkan! batinku

Aku menghela nafasku. “Ya, tuhan! Apakah benar dia kakak kandungku?” gumamku.

Kak Ilham menjitak pelan kepalaku.

Beberapa saat kemudian mobil berhenti. Ya, kami sudah sampai di rumah kami yang baru. Sedikit terasa asing bagiku. Rumah ini sedikit kuno. Dengan gaya arsitektur zaman Belanda. Ya, benar, sedikit menyeramkan. Aku langsung saja masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan barang bawaanku. Biar saja, mereka yang membawanya.

“Assalamualaikum!” sapaku saat memasuki rumah.

“Waalaikumsalam! Ya, Allah! Adaaamm!” teriak Mama sambil menghampiriku. Mama merangkul dan menepuk bahuku beberapa kali bak seorang Ibu yang baru saja menemukan anaknya setelah bertahun-tahun. “Kamu pasti capek. Sekarang kita makan dulu, setelah itu kamu istirahat.”

“Iya, Ma,” jawabku singkat. Kulihat Kak Ilham masih berkutat dengan mobil, menurunkan semua barang-barangku.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Rumah ini tidak begitu lebar, seperti rumahku sebelumnya. Tapi disini banyak sekali ruang-ruangnya. Ada 5 kamar di dalam rumah ini.

Kita duduk pada ruangan cukup lebar. Kursi dari anyaman rotan dan mejanya berlapis marmer putih bulat. Sebuah lampu hiasan menggantung diatasnya. Kusen kayu dan meja, semuanya ukiran.

Pada dinding terdapat beberapa foto metamorfosis seorang anak dari bayi sampai sekitar umur 15 tahun yang tidak lain tidak bukan adalah aku.

Lantai rumah ini berpetak-petak. Bukan porselen, tapi seperti dari batu alam yang tertata sangat rapi. Ya ampun, rumah ini benar-benar kuno sekali.

Di meja makan ada beberapa teman mama. Ternyata benar mereka sedang arisan. Perutku memang sudah sangat lapar. Soalnya di perjalanan, aku hanya mengganjal perutku dengan makanan ringan. Aku menyendokkan nasi cukup banyak dan piringku pun sudah penuh dengan lauk-lauknya.

“Hebat ya, anakmu Jeng, bisa belajar sampe ke luar negeri,” puji salah seorang teman Mama yang duduk berhadapan denganku.

“Iya dong! Aku aja salut sama dia. Katanya dia di sana, cuma mau mengukur kemampuannya dan mau cari pengalaman,” ujar Mama dengan bangga.

Ya, ampun, dulu waktu aku mutusin untuk ikut seleksi program pertukaran pelajar dan akan berangkat ke Korea selama dua bulan, Mama heboh banget, mati-matian ngelarang aku buat pergi, tapi sekarang temen-temen Mama memuji aku, Mama juga heboh banget bangga-banggain aku.

“Duh, coba Marcel pinter kayak kamu, Dam. Kemarin dia juga ikut seleksinya, tapi baru tahap pertama saja, dia sudah kalah,” ujar Tante Desi. Dia adalah ibunya Marcel.

Kulirik wajah Marcel yang sedang nonton TV di ruang tengah. Wajahnya memerah, seperti pantat monyet sumatera. Aku susah payah menahan tawaku.

“Ma, aku, ke kamar ya?” kataku ragu.

“Nanti dulu, dong. Kita cerita-cerita dulu, ya,” timpal salah satu teman Mama.

Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Ya, sudah sana!” balas Mama. “Mungkin, dia lagi capek, Jeng.”

Mereka hanya mangguk-mangguk.

Duh, aku jadi kekenyangan sekarang. Lebih baik aku ke kamar saja, istirahat dan merapikan barang-barangku. Acara pembagian oleh-olehnya nanti saja.

Setibanya di kamar aku langsung merapihkan barang-barangku kemudian merebahkan tubuhku ke atas kasur dan akupun terlelap.


 ***




0 komentar:

Posting Komentar